alone in the rain, nothing but pain

Di tengah padatnya pelintasan jalur kota, terlihat bermacam-macam kendaraan yang berlalu-lalang. Tak ketinggalan pula bunyi klakson yang ikut meramaikan suasana kelabu hari itu. Satu per satu, payung mulai beradu dengan rintik air dari langit yang mulai mengguyur sepanjang kota hujan ini. Beberapa pejalan kaki mulai gelisah berlari kesana kemari mencari tempat perteduhan. Sementara itu, Hani, yang berdiri agak menjauh dari kerumunan orang-orang di halte, sedang sibuk mematut dirinya di bawah genangan air yang telah terbentuk sejak beberapa menit yang lalu. Harum petrikor menyerbak memasuki rongga hidung gadis itu.

Sudah 15 menit lamanya Hani berdiri di halte. Menunggu kedatangan bus dengan harapan bahwa ada bangku kosong di sana, hingga ia tak perlu lagi repot-repot berdiri untuk yang kedua kalinya.

Hujan hari itu membawanya ke sudut dimensi dimana ada sebuah partikel yang bernama kenangan tengah bergelut untuk menampakkan jatinya. Menempatkan dirinya pada sebuah atom kecil; kecil yang riang, kecil yang penuh warna, akan tetapi telah pudar karena jarak dan waktu.

Sesungguhnya, Hani tidak pernah membenci hujan. Akan tetapi, ia juga tidak bisa dibilang menyukai hujan. Ia hanya menyayangkan mengapa di saat-saat seperti ini partikell itu kian datang seiring hujan turun, tanpa ia undang.

Tapi, bukankah hujan itu suatu anugerah? Sebisa mungkin Hani mencoba untuk berpikiran positif. Menegaskan bahwa air hujan yang jatuh kali ini adalah air mata kerinduan seseorang yang berada jauh di sana.

Hari itu, rintik air hujan kembali turun kian deras. Seolah-olah keberadaannya ingin diketahui, air hujan itu mulai membasahi sepatu yang Hani kenakan.

Tidak apa-apa. Kali ini aku memaafkanmu, hujan, batin Hani sambil beranjak dari tempatnya, menghindari hujan.

—adoraaime
Pekanbaru, 3 Oktober 2018

Inspired by: BTS - Rain.

Comments